Pernahkah kamu mendengar kata toxic feminity? Istilah ini muncul sejak gerakan feminisme berkembang pesat di penjuru dunia. Seringnya terjadi diskriminasi pada perempuan menimbulkan kesadaran pada masyarakat hingga menciptakan gerakan atau tuntutan dari masyarakat yang peduli pada perempuan.
Lantas apakah itu toxic feminity yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan? Simak penjelasan mengenai toxic feminity di bawah Ini!
Mengenal toxic feminity
Toxic feminity atau feminisme beracun merupakan penilaian masyarakat luas yang dijadikan standar normal yang harus dimiliki oleh perempuan. Standar penilaian yang umum dijadikan patokan perempuan adalah harus pandai mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, selain itu memiliki sifat lemah lembut dan penurut.
Selain itu, perempuan juga dituntut berpenampilan feminim dan lebih sering berdiam diri di rumah. Padahal perempuan memiliki hak untuk berpenampilan senyaman dan sesukanya, serta keluar rumah untuk meraih pendidikan yang tinggi maupun berkarir. Keberadaan toxic feminity tersebut tidak jarang mempersulit perempuan untuk memilih apa yang dimau di jalannya sendiri.
Perbedaan toxic feminity dengan sexism
Bagi orang awam, banyak yang menilai jika toxic feminity dan sexism merupakan hal yang sama. Padahal keduanya memiliki makna yang jauh berbeda.
Jika toxic feminity merupakan penilaian standar masyarakat yang dijadikan acuan idealnya sebagai perempuan, sexism justru perilaku diskriminasi pada seseorang akibat adanya perbedaan jenis kelamin. Dalam artian, sexism hanya menonjolkan salah satu jenis kelamin saja.
Contoh sexism dalam kehidupan sehari-hari adalah tekanan untuk menikah lebih awal, tekanan untuk segera memiliki anak, dan mengerjakan pekerjaan tambahan di kantor seperti mengurus dokumen tanpa ada biaya tambahan jasa. Tuntutan-tuntutan tersebut menggiring adanya diskriminasi pada salah satu gender seperti pada perempuan.
Asumsi toxic feminity
Hampir semua orang pasti pernah mendengarkan stigma jika perempuan yang jago masak adalah istri idaman, sedangkan bagaimana dengan perempuan yang tidak bisa memasak? Apakah bukan istri idaman? Nah, asumsi ini merupakan salah satu bentuk toxic feminity.
Selain penilaian di atas ada juga beberapa asumsi toxic feminity yang kerap kali ditujukan pada perempuan, seperti:
- Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi
- Perempuan harus jago berdandan untuk menyenangkan suami
- Perempuan harus menikah lebih cepat dari laki-laki
- Perempuan harus segera memiliki anak setelah menikah
- Perempuan tidak boleh gemuk atau harus kurus
Bagaimana cara menyikapi toxic feminity?
Tentu sangat menjengkelkan jika kamu hidup dikelilingi dengan stigma-stigma tersebut yang mengharuskan kamu menuruti standar sosial yang ada di masyarakat. Namun, bukan berarti kamu tidak bisa melewati toxic feminity tersebut. Ada beberapa solusi untuk menyikapi toxic feminity, sebagai berikut:
- Jangan membiasakan diri beraksi seolah-olah kamu lebih lemah dari laki-laki
- Tidak melakukan apa yang benar-benar tidak kamu ingin lakukan
- Jangan merendahkan perempuan lain jika memiliki kemampuan yang tidak sama denganmu
- Jangan mempermalukan perempuan lain jika memiliki selera berbeda seperti berpakaian, makanan, atau lainnya
- Tegur atau ingatkan perempuan lain jika mereka mengalami pelecehan atau penganiayaan oleh pasangan mereka
Cara mengatasi toxic feminity
Ada beberapa cara yang juga bisa kamu terapkan untuk melawan toxic feminity, seperti:
- Tidak melakukan apa yang tidak kamu mau meskipun dipaksa sekalipun, seperti kamu harus pandai berdandan hanya untuk menyenangkan suami. Namun, jadikan berdandan sebagai bentuk mencintai diri sendiri
- Gunakan suara atau intonasi normal saat berbicara dengan laki-laki. Jangan terlalu melemah lembutkan suaramu jika itu bukan warna suara aslimu.
- Carilah lingkungan yang mendukungmu menjadi diri sendiri
Menjadi diri sendiri tanpa toxic feminity
Banyak yang mengira jika toxic feminity tidak memiliki dampak apa-apa pada perempuan. Padahal perempuan akan mengalami banyak dampak buruk jika terus-terusan terkena toxic feminity, salah satunya adalah depresi. Maka dari itu kita harus berhenti dari toxic feminity.
Jangan takut menjadi perempuan yang menjadi diri sendiri. Ekspresikan kepercayaan diri dengan apa yang kamu suka dan mampu. Standar yang ada pada masyarakat tidak harus kamu ikuti. Jika ingin sekolah tinggi maka sekolahlah, jika ingin bekerja maka bekerjalah.
Demikian penjelasan mengenai toxic feminity dan cara menyikapinya. Jadilah diri kamu sendiri, ya!